Rabu, 5 Mei 2010 | 19:49 WIB
MALANG, KOMPAS.com — Aliansi Petani Indonesia, Rabu (5/5/2010), menolak draf peraturan Menteri Pertanian tentang perizinan dan usaha budi daya tanaman. Selain itu, mereka juga menuntut perubahan aturan tentang usaha budi daya tanaman. Pasalnya, dengan aturan tersebut, dari hari ke hari semakin banyak petani dikriminalkan hanya karena membudidayakan benih sendiri.
Demikian dilontarkan Aliansi Petani Indonesia (API) dan sejumlah lembaga terkait pertanian lainnya di Kota Malang seusai Lokakarya Penyusunan Manual Proses Pendaftaran Advokasi Kebijakan Perbenihan.
"Ada kekhawatiran di tingkat petani untuk berupaya memuliakan benih sendiri. Dengan kasus-kasus kriminalisasi petani yang mulai marak terjadi, hal itu secara mental membuat petani bisa down," ujar Ketua Dewan Tani API Muzakir di Malang.
Pernyataan Muzakir ini mengacu pada maraknya kasus petani dihukum gara-gara membudidayakan benih sendiri di luar produksi pabrik.
Data dari Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), lembaga advokasi petani di Kediri, menunjukkan bahwa setidaknya ada 13 kasus petani diajukan ke meja hijau gara-gara memuliakan benih sendiri atau menjual benih hasil pemuliaannya itu.
Para petani ini ditangkap karena dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Mereka antara lain dinilai melakukan sertifikasi benih tanpa izin. "Mereka ada yang hanya dimintai keterangan oleh polisi dan ada yang kini menghadapi tuntutan hukum lima tahun penjara," tutur Dian Pratiwi Pribadi, anggota perwakilan KIBAR.
Dengan dasar seperti itu, API bersama Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), KIBAR, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Institute for Global Justice (IGJ), Gita Pertiwi Solo, Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Indramayu di Jawa Barat, serta Kelompok Kajian dan Pengembangan Masyarakat (KKPM) Malang membuat pernyataan bersama menolak draf Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman.
"Kami berharap, pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap petani. Kami juga menuntut revisi PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Aturan-aturan ini mendiskriminasi petani dan memanjakan pengusaha benih," ujar Gunawan, Sekjen IHCS Jakarta.
MALANG, KOMPAS.com — Aliansi Petani Indonesia, Rabu (5/5/2010), menolak draf peraturan Menteri Pertanian tentang perizinan dan usaha budi daya tanaman. Selain itu, mereka juga menuntut perubahan aturan tentang usaha budi daya tanaman. Pasalnya, dengan aturan tersebut, dari hari ke hari semakin banyak petani dikriminalkan hanya karena membudidayakan benih sendiri.
Demikian dilontarkan Aliansi Petani Indonesia (API) dan sejumlah lembaga terkait pertanian lainnya di Kota Malang seusai Lokakarya Penyusunan Manual Proses Pendaftaran Advokasi Kebijakan Perbenihan.
"Ada kekhawatiran di tingkat petani untuk berupaya memuliakan benih sendiri. Dengan kasus-kasus kriminalisasi petani yang mulai marak terjadi, hal itu secara mental membuat petani bisa down," ujar Ketua Dewan Tani API Muzakir di Malang.
Pernyataan Muzakir ini mengacu pada maraknya kasus petani dihukum gara-gara membudidayakan benih sendiri di luar produksi pabrik.
Data dari Kediri Bersama Rakyat (KIBAR), lembaga advokasi petani di Kediri, menunjukkan bahwa setidaknya ada 13 kasus petani diajukan ke meja hijau gara-gara memuliakan benih sendiri atau menjual benih hasil pemuliaannya itu.
Para petani ini ditangkap karena dinilai melanggar Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Mereka antara lain dinilai melakukan sertifikasi benih tanpa izin. "Mereka ada yang hanya dimintai keterangan oleh polisi dan ada yang kini menghadapi tuntutan hukum lima tahun penjara," tutur Dian Pratiwi Pribadi, anggota perwakilan KIBAR.
Dengan dasar seperti itu, API bersama Indonesian Human Rights Committee for Social Justice (IHCS), KIBAR, Front Perjuangan Pemuda Indonesia (FPPI), Institute for Global Justice (IGJ), Gita Pertiwi Solo, Ikatan Petani Pengendalian Hama Terpadu Indonesia (IPPHTI) Indramayu di Jawa Barat, serta Kelompok Kajian dan Pengembangan Masyarakat (KKPM) Malang membuat pernyataan bersama menolak draf Peraturan Menteri Pertanian tentang Pedoman Perizinan dan Usaha Budidaya Tanaman.
"Kami berharap, pemerintah menghentikan kriminalisasi terhadap petani. Kami juga menuntut revisi PP Nomor 18 Tahun 2010 tentang Usaha Budi Daya Tanaman, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 1992 tentang Sistem Budi Daya Tanaman, dan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang Pangan. Aturan-aturan ini mendiskriminasi petani dan memanjakan pengusaha benih," ujar Gunawan, Sekjen IHCS Jakarta.
No comments:
Post a Comment