“LAWAN SEGALA BENTUK PENJAJAHAN GAYA BARU, REBUT KEMENANGAN RAKYAT SEKARANG JUGA”
Sejarah perjuangan buruh adalah sejarah rakyat melawan bentuk-bentuk eksploitasinya melawan pemilik modal. Buruh sebagai tulang punggung punggung perekonomian suatu bangsa seharusnya mempunyai posisi sosial istimewa dalam sistem perekonomian suatu Negara. Hari Buruh internasional atau yang kemudian dikenal sebagai May Day lahir dari berbagai rentetan perjuangan kelas pekerja yang radikal untuk meraih kendali ekonomi-politis hak-hak industrial.
Perkembangan kapitalisme industri di awal abad 19 menandakan perubahan drastis ekonomi-politik, terutama di negara-negara kapitalis di Eropa Barat dan Amerika Serikat. Pengetatan disiplin dan pengintensifan jam kerja, minimnya upah, dan buruknya kondisi kerja di tingkatan pabrik, melahirkan perlawanan dari kalangan kelas pekerja (baca: buruh. Hal ini disebabkan maraknya sistem produksi massal dengan menawarkan kualitas yang lebih tinggi dan harga yang relatif murah seakan-akan menjadi sesuatu yang tidak bisa terelakkan. Perubahan pola pertumbuhan produksi dari sepenuhnya memakai tenaga manusia dengan menggantinya dengan mesing menyebabkan kapitalisme terus berkembang menjadi suatu sistem penjajahan gaya baru yang tetap berwatak akumulatif, eksploitatif dan ekspansif. Saat ini, kapitalisme dengan panji-panji globalisasinya dan mesin intensif eksploitasinya, secara bersamaan melalui rekayasa peradaban muktahirnya mampu membius milyaran umat manusia terlena pasrah dan sekaligus terhisap secara tidak sadar. Dari serentetan isu mengenai pemerintahan bersih, ramah investasi asing, pertumbuhan ekonomi, anti terorisme, perubahan iklim, efisiensi produksi bahkan sampai dibuatnya landasan teori atas liberalisasi pasar tenaga kerja pada akhirnya itu semua merupakan selubung-selubung ideologi palsu yang terangkai indah dan terkesan rasional dalam regulasi-regulasi internasional yang dipaksakan atau disepakati secara sadar dan tidak sadar oleh negara-negara dunia ketiga, bahkan dikemudian hari negara-negara dunia ketiga menjadi penyokong terbesar dari proses ekploitasi atas penindasan burug-burug didunia ketiga.
Menyambut momentum May Day dan juga beberapa momentum bulan Mei ini, kita sebagai kaum pergerakan pemuda harus kembali menjadi garda depan dalam memperjuangkan perubahan struktur sosial rakyat menuju kemerdekaannya seratus persen.
Situasi secara umum
Terpilihnya SBY-Boediono dipemilu 2009, ternyata tidak banyak membawa perubahan yang cukup berarti dalam proses kesejahteraan rakyat. Gonjang-ganjing politik nasional yang kemudian dipaksa menjadi konsumsi rakyat Indonesia melalui media-media di indonesia ternyata telah membuat rakyat lupa akan karakter rezim yang sesungguhnya yang saat ini sedang berkuasa. Perdebatan awal pemilihan capres-cawapres yang kemudian memposisikan bahwa wakil presiden boediono sebagai agen noelib jangan lah kita tinggalkan begitu saja, tetapi terlepas dari itu semua bahwa karakter rezim sebagai bagian dari agen neolib sudah sangat jelas terlihat. Sekali lagi bahwa naiknya SBY-Boedionio telah merepresentasikan keberhasilan reproduksi dan reorganisasi rezim orde baru selama reformasi yang dikhianati oleh elit politik oligarki.
Semakin maraknya proses pengalihan isu yang terjadi diperkembangan politik nasional semakin menunjukan bahwa rezim kali mengalami kebobrokan dalam proses pengelolahan pemerintahan, sekali lagi hal ini pun direspon dengan baik oleh kalangan gerakan dengan selalu mengikuti proses perkembangan isu politik yang sebenarnya tidak mempunyai dampak apa-apa dengan proses kesejagteraan rakyat.
Terlepas apa yang terjadi diproses isu politik nasional, karakter rezim sebagai agen-agennya neolib tidaklah dapat disanggah lagi. Kesepakatan-kesepakan internasional yang terus dibuka oleh rezim hanya akan mengakibatkan proses liberalisasi di negeri ini semakin massif. Disis lain doktrin pasar bebas yang selalu saja dipakai oleh kaum neolib menjadikan banyak negara terjebak dalam krisis kapitalisme yang akan selalu berulang, tetapi rezim yang berkuasa dinegeri ini selalu akan menyeret-yeret Indonesia kedalam kesepakatan pasar bebas.
Lihat saja pada kesepakatan CAFTA. Dilihat dari segi manapun kesepakatan perdagangan bebas antara Asia Tenggara dan Cina tidaklah menguntungkan bagi Indonesia. Sebagai sebuah negara besar, fundamen ekonomi Indonesia belumlah cukup kuat dan tertata dengan rapi. Proses industrialisasi yang tidak pernah hadir dari industri dasar hanya akan menyebabkan Indonesia menjadi negara pasar bagi produk-produk Cina. Dampak CAFTA hanya akan mengakibatkan Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 35 triliun, tempat sekitar 56 persen di antaranya dari sektor tekstil dan produk tekstil. Sementara di Jawa Barat berpotensi kehilangan pendapatan sebesar Rp 5,7 triliun dari sektor perdagangan akibat penghapusan bea masuk tekstil dan produk tekstil (TPT) asal Cina pada 2010 ini. Dampak CAFTA kemudian bukan hanya menghantam proses industri yang ada di Indonesia. Dampak CAFTA disemua sector akan terjadi dan mengerus proses produksi masyarakat. Disektor pertanian subsektor tanaman pangan, hortikultura, dan peternakan justru menghadapi tantangan berat. Padahal subsektor tersebut menjadi tumpuan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.Neraca perdagangan komoditas tanaman pangan Indonesia-Cina tahun 2004 defisit 43,031 juta dollar AS. Tahun 2008 defisit membengkak menjadi 109,531 juta dollar AS. Neraca perdagangan komoditas hortikultura defisit 150,282 juta dollar AS (2004) dan 2008 defisit 434,403 juta dollar AS. Adapun neraca perdagangan komoditas peternakan tahun 2004 defisit 7,798 juta dollar AS, dan 2008 menjadi defisit 17,948 juta dollar AS. Meskipun secara agregat surplus neraca perdagangan Indonesia meningkat, hal itu tidak serta-merta mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Apalagi ketiga subsektor yang menjadi gantungan hidup mayoritas rakyat mengalami hantaman. Disisi lain dengan CAFTA ini pengindustri kecil dan menengah yang berasal serta berpasar lokal dan nasional akan hancur cepat atau lambat. Hanyalah pedagang kelas menengah ke atas dan pasar modern yang bisa mengambil untung dari situasi ini. Karena salah satu klausulnya yang tertuang dalam perjanjian CAFTA adalah dihapuskannya Pedagang Kaki Lima (PKL) dan pasar tradisional.
Hampir tidak ada argumentasi yang manyatakan bahwa CAFTA akan menguntungkan Indonesia, kecuali dari kalangan pemerintah yang selalu mencari pembenaran atas kebijakan yang sudah terlanjur disepakati. Pemerintah mencoba meyakinkan masyarakat bahwa Cina sebagai sebuah negara dengan populasi penduduk terbesar di Dunia saat ini dan merupakan pasar yang potensial. Tetapi public megetahui bahwa untuk meraih pasar di negara tersebut adalah sangat sulit. Jangankan Indonesia, Jepang, AS dan Uni Eropa yang selama setengah abad menjadi pelaku utama ekonomi dunia, kini mengalami deficit perdagangan dengan Cina. Berbagai analis menyimpulkan bahwa Free Trade Area ASEAN hanya akan menjadi penyatuan pasar bagi Cina, setelah sebelumnya berhasil melakukan ekspansi dagang di negara-negara yang menjadi saingan terkuatnya. Khusus Indonesia, sebagai negara paling terbelakang dalam hal industrialisasi dibandingkan dengan tetangganya dekatnya yang lain seperti Singapura, Malaysia, Thailand bahkan Philipina yang selangkah lebih maju, tentu akan menjadi sasaran paling empuk. Apalagi didukung daya serap pasar Indonesia yang cukup besar, setara dengan penggabungan seluruh negara ASEAN lainnya, pemerintah Cina akan mengerahkan segenap daya dan upaya untuk menjadikan Indonesia sebagai pangsa pasar utama di kawasan ASEAN.
Khusus untuk saat ini pemberlakuan CAFTA akan sangat berdampak pada proses industrialisasi dinegara ini. Kekuatan industri kecil dan menengah dalam menghadapi gempuran produk-produk Cina hanya seperti menghantamkan kepala ditembok beton yang sangat keras. Kebangkrutan industri-industri tersebut tidak dapat lagi dihindarkan, padahal industri-industri inilah yang mempunyai daya serap yang sangat besar terhadap para pencari kerja. Saat ini lebih dari 30 juta jiwa menggantungkan hidupanya pada kegiatan industri skala kecil dan mikro yang akan menjadi korban pertama dari perjanjian perdagangan bebas. Dapat dipastikan bahwa industri-industri rakyat tersebut akan tergusur oleh masuknya barang dan investasi dari luar negeri. Ditengah proses de industrialisasi, sekali lagi CAFTA berpotensi menciptakan pengangguran yang semakin luas. Gempuran produk impor dan masuknya investasi asing akan menggusur usaha-usaha di sector formal baik industri, jasa dan perdagangan dalam negeri. Padahal dari 104,4 juta jiwa yang dikalim pemerintah sebagai orang yang bekerja, hanya sebagian kecil yang bekerja di sector formal. Jumlanya tidak lebih dari 28,9 juta jiwa, selebihnya berusaha sendiri, berusaha dibantu buruh tidak tetap/buruh tidak dibayar, pekerja keluarga/tak dibayar dll.
Nasib Kaum Buruh Indonesia
Jauh sebelum Indonesia menyepakati CAFTA, Indonesia adalah Negara yang telah mengalami de-industrialisasi sebelum perekonomian dapat mencapai industrialisasi atau dikatakan mengalami de-industrialisasi negatif. Pembangunan industri di Indonesia tidak dihasilkan dari surplus yang diperoleh dari pertanian. Kemampuan sektor pertanian dalam menyerap tenaga kerja dan menghasilkan output mengalami penurunan dibandingkan dengan sektor lainnya termasuk industri akan tetapi pada saat yang sama kemampuan sektor industri dalam menyerap tenaga kerja dan kontribusi perhadap PDB juga tidak menunjukkan peningkatan yang berarti.
Industri di Indonesia umumnya adalah perakitan (assembling), dimana barang modal, bahan baku, dan bahan penolong dipasok dari impor. Keberadaan perusahaan-perusahaan dan pabrik-pabrik di Indonesia saling terpisah, tidak terintegrasi satu dengan yang lainnya. Secara statistik saat ini impor Indonesia didominasi oleh impor bahan baku. Hampir 70 persen dari total impor adalah bahan baku yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan di dalam negeri. Sisanya adalah barang konsumsi dan barang modal. Lebih jauh perekonomian nasional hanya ditopang oleh eksploitasi bahan mentah, minyak, mineral, batubara, hasil perkebunan yang diekspor ke negara maju dalam bentuk bahan mentah. Pertumbuhan ekonomi dalam negeri ditopang oleh konsumsi yang besar dari barang impor.
Melihat hal ini semua dapat dikatakan bahwa dampak dari CAFTA sudah sangat terlihat, dari sisi indutrialisasi, produk-produk dari negara tirai bambu tersebut akan membanjiri pasar indonesia, disisi lain banyaknya produk yang akan masuk ke indonesia tidak disertai dengan banyaknya produk indonesia masuk ke Cina, dan total produk yang akan masuk ke indonesia sebanyak....... seperti yang telah diuraikan diatas, bahwa semua dampak dari perdagangan bebas ini adalah kaum buruh indonesia, tidak dapat disangkal lagi bahwa persaingan industri yang tidak seimbang, serta tiap tahun angka pengangguran yang terus bertambah -setiap tahun angkatan kerja baru bertambah lebih dari 2 juta orang- hanya akan menambah daftar panjang para pencari kerja dan pengangguran di Indonesia.
Disisi lain problem atas perburuan bukanlah semakin sedikit tetapi malah bertambah banyak. Hasil dari National Summit II, intinya demi meningkatkan pertumbuhan ekonomi, rezim yang berkuasa saat ini hanya akan mengandalkan banyaknya investasi yang siap dihadirkan di Negara ini. Cara menghadirkan investasi tersebut dengan mempromosikan masih banyaknya sumber daya alam yang masih belum diekplorasi, hal ini ditambah lagi dengan promosi bahwa tenaga buruh di Indonesia adalah termasuk tenaga buruh termurah di Asia. Kemudian promosi ini diperkuat bahwa Negara ini akan memberlakukan system buruh kontrak untuk seluruh lapisan industry, sehingga memungkinkan akan tidak adanya perkerja tetap yang akan diangkat oleh perusahaan. Menginggat hal ini, maka dapat dibayangkan nasib kaum buruh di Indonesia semakin terjebak dalam kubangan kemiskinan dan hal inilah yang dapat kita sebut sebagai proletariatisasi secara massal.
PENGEBIRIAN GERAKAN BURUH DI BALIK RESOLUSI BIPARTIT NASIONAL
Masifnya PHK massal, tingginya pengangguran, upah buruh rendah, naiknya harga sembako, pemberangusan serikat pekerja, praktek outsourching, kriminalisasi gerakan buruh bahkan sampai fenomena perpecahan serikat buruh telah menjadi bukti bahwasanya posisi tawar gerakan buruh masihlah lemah di hadapan negara dan pemodal. Keberadaan UU No.21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja, secara tidak sadar telah mengkotak-kotakan dan membagi tingkatan organisasi buruh mulai dari tingkatan pabrik / perusahaan hingga lokal sampai skala nasional. Belum lagi, penerapan atas UU Otonomi Daerah sebagai instrumen hukum negara telah membagi-bagi struktur kekuasaan menjadi pemerintahan pusat dan pemerintahan daerah. Kondisi ini secara otomatis berakibat pada pola perjuangan dan solidaritas serikat buruh dalam memperjuangkan nilai upah yang layak sering terbatasi dengan batas-batas kewilayahan atau propinsi, sehingga berdampak juga pada pengkotak-kotakan isu perburuhan yang akan diusung.
Transisi demokrasi, paska reformasi 1998 yang seharusnya mendorong terjadinya perubahan cara produksi yang berpihak kepada masyarakatnya ternyata hanya merubah model kekuasaan tirani ala Soeharto berubah menjadi model kekuasaan oligarki dan anti rakyat serta tetap tunduk pada kepentingan kapitalisme internasional. Dan kini, bentuk kekuasaan oligarki itu merasuk ke dalam tubuh organisasi serikat-serikat buruh plat kuning yang mendukung kebijakan pemerintah dan pemodal guna menekan radikalisasi gerakan buruh itu sendiri.
Gemuruh kemenangan gerakan buruh dalam menghalau rencana pemerintah untuk merevisi UU Ketenagakerjaan No.13, telah memaksa negara untuk menyerahkan proses ini ke dalam Forum Tripartit Nasional (Kesepakatan Pemerintah-Pengusaha-Buruh). Namun konfederasi buruh nasional yang tergabung dalam Tripartit Nasional sampai saat ini hanya sekedar digunakan sebagai representasi gerakan buruh dalam mendukung sekian kebijakan negara yang menindas. Praktek deradikalisasi (baca:pelemahan) dan deideologisasi (baca:pembodohan) gerakan buruh yang dilakukan negara bisa kita lihat dari dukungannya terhadap perumusan Resolusi Bipartit Nasional yang digagas oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia/Apindo dengan konfederasi plat kuning, KSBSI (Rekson Silaban) dan KSPI (Thamrin Mosi) pada Munas Apindo ke-VIII, di Hotel The Sultan, di Jakarta, Kamis (27/3/2008) yang lalu. Kesepakatan Bipartit Nasional tersebut tidak ubahnya sebuah rekayasa sosial dimana seolah-olah gerakan buruh bersama para pengusaha dapat bergandengan tangan menyambut proses liberalisasi modal asing dan stabilitas perekonomian di Indonesia. Hal ini setidaknya bisa terlihat dari pendapat Sofyan Wanandi selaku Ketua Apindo, yang mengutarakan beberapa hal sebagai berikut:
1. Adanya praktek-praktek Suhartois Orde Baru dengan stigmatisasi (baca: pengecapan) radikalisasi gerakan buruh ala sebagai gerakan komunisme karena terdoktrin ajaran Karl Marx. Pendapat Sofyan Wanandi meyakini perjuangan kelas kaum buruh melawan kelas pemodal sesungguhnya bisa dihindari dengan jalan dibentuknya wadah komunikasi bersama antara pengusaha dan gerakan buruh itu sendiri.
Padahal, serikat buruh tanpa harus memahami terlebih dahulu tentang ajaran Karl Marx tentang perjuangan kelas kelas buruh sekalipun, perjuangan gerakan buruh untuk memperjuangkan hak-haknya niscaya tetap akan terjadi. Sebab, alasan mendasar perjuangan itu sesungguhnya sendiri dilandasi karena kondisi kerja yang tidak memanusiakan buruh.
2. Pembentukan Bipartit Nasional yang akan diperluas pelembagaannya sampai ke daerah-daerah yang ditujukan guna menyelesaikan problem-problem hubungan industrial antara pengusaha dan buruh serta demi menjaga stabilitas politik dan iklim investasi nasional, mengakibatkan radikalisasi dan aksi-aksi gerakan buruh harus segera diminimalisir.
Padahal setiap kali kemunculan adanya gemuruh radikalisasi gerakan buruh di Indonesia selalu akibat REAKSI dari kebijakan pengusaha dan negara yang menindas. Singkatnya, dalam menjaga persatuan gerakan dan solidaritas kaum buruh Indonesia, semua kekuatan buruh harus selalu meningkatkan kesiapsiagaan massa dan tidak terprovokasi dengan sekian manuver-manuver yang dilakukan oleh beberapa kelompok yang anti perjuangan buruh serta waspadai watak-watak oligarki yang merasuk ke dalam badan-badan kekuasaan negara juga telah merasuki konfederasi-konfederasi buruh kepala batu alias konfederasi plat kuning.
KEMANAKAH GERAKAN BURUH HARUS MELANGKAH
Menyitir apa yang pernah dikatakan oleh Presiden RI I Bung Karno, bahwa ” Buruh adalah anak kandung dari kapitalisme...”, maka menjadi benar adanya berbicara struktur penindasan buruh pada hari ini, mau tidak mau kita juga harus berbicara mengenai perkembangan kapitalisme itu sendiri dan peralihannya di Indonesia. Dimana, pada hari ini instrumen kapitalisme telah menjelma menuju tahapan tertinggi menjadi neo-kolonialisme imperialisme (baca: penjajahan gaya baru) yang mengusung keniscayaan globalisasi (pasar bebas) yang tidak lain merupakan penjelmaan dari modifikasi praktek-praktek penjajahan ala Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda di masa lampau.
Fenomena kapitalisme birokrasi seperti yang pernah dilakukan oleh kaum birokrasi feodal di jaman dulu, kini juga menyuburkan praktek-praktek rente (baca:pungutan liar) yang dilakukan oleh oknum-oknum aparat keamanan negara. Sekiranya hal ini yang menyebabkan terhambatnya transformasi kapital di negri ini. Sehingga desain pembangunan perekonomian nasional diserahkan begitu saja dan tunduk kepada resep-resep lembaga ekonomi kapitalisme nternasional (baca: Bank Dunia, IMF, WTO, MNC-TNC) dan negara-negara maju. Pada akhirnya, konsepsi “ Pembangunan Indonesia” berubah menjadi “Pembangunan di Indonesia”, serta kondisi tersebut mensyaratkan keadaan buruh kita pada kondisi minimum alias upah buruh murah. Artinya, sistem upah buruh di Indonesia tidak pernah didasarkan pada kebutuhan primer sekunder buruh tetapi dari sisa atas banyaknya nilai lebih yang dicuri kapitalis yang kemudian dirente oleh militer dan birokrasi negara yang berwatak oligarkis dan komparador (baca:pengkhianat). Belum lagi, praktek-praktek relokasi industri negara maju ke negara-negara dunia ketiga (baca: Indonesia) berpotensi terjadinya capital flight (pemindahan investasi modal) ke luar negeri yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Tentunya hal ini menyebabkan posisi tawar buruh semakin lemah di hadapan pemodal dan sekali lagi, hal ini menjadi bukti ketidakberdayaan negara melindungi warga negaranya sendiri.
Singkatnya, tidak akan pernah ada gerakan buruh yang kuat tanpa bangunan kapital nasional yang kuat. Namun, ini bukan berarti bahwa gerakan buruh harus selalu mengutamakan kepentingan pengusaha terlebih dahulu. Posisi buruh yang selalu dianggap sebagai variabel dari kapital produksi pengusaha adalah pendapat yang selalu dipakai oleh pengusaha hari ini. Buruh bukanlah komoditi, buruh bukanlah sapi perahan. Seharusnya, buruh memliki posisi yang sejajar dengan pengusaha dalam hubungan industri. Sebab buruh juga telah memiliki investasi (baca: modal) yang ditanamkan di pabrik, yakni tenaga keringat buruh itu sendiri. Maka dari logika variabel kapital, buruh harus didorong menjadi kapital konstan yang memiliki kesejajaran dalam hubungan industrial. Serta perebutan dan ambil alih pabrik menjadi keniscayaan ketika pengusaha sudah tidak memperlakukan para pekerjanya sebagaimana layaknya manusi yang bermartabat. Untuk itu, kepada seluruh barisan konfederasi, federasi dan serikat buruh di Indonesia, bersama-sama bahu membahu untuk :
1. Mendorong dan meningkatkan pola perjuangan ekonomi (baca: normatif) serikat buruh menjadi perjuangan politik perburuhan. Ini menjadi penting sebagai jawaban atas keterjebakan serikat buruh dalam perjuangan hak normatif menuju perang posisi secara politik dan gerakan terhadap kebijakan negara dan pemodal yang menindas.
2. Menghilangkan tradisi ke-serikat-an buruh dalam perjuangan gerakan proletariat nasional (:gerakan rakyat pekerja). Sebab, pendekatan sektoralisme dalam sebuah pola perjuangan bersama rakyat harus segera dilampui. Sebab posisi gerakan buruh harus memposisikan sebagai barisan pelopor perjuangan kerakyatan.
3. Tetap menjaga, mempertahankan dan memperluas konsolidasi antar gerakan rakyat pekerja seluas-luasnya. Ini bertujuan untuk dapat merapatkan seluruh kekuatan gerakan buruh di semua pelosok daerah republik ini.
Tentang pendidikan
Setelah dibatalkannya UU BHP oleh Mahkamah Konstitusi beberapa waktu lalu, isu di konteks pendidikan yang hangat dibicarakan adalah Badan Layanan Umum (BLU). Pada dasarnya Badan Layanan Umum ini mendapatkan legitimasi hukum berdasarkan atas paket peraturan perundang-undangan di bidang keuangan yang meliputi Undang-undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-undang No.1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara dan RUU Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara (disetujui dalam siding paripurna DPR tanggal 21 Juni 2004). Dari sinilah kemudian otonomi kampus menjadi pembenaran bagi perguruan tinggi di Indonesia untuk mengelola keuangannya secara mandiri.
Kampus-kampus yang sudah menjadi BHMN dalam konteks BLU ini dibolehkan untuk mengelola keuangan mereka sendiri, dan mekanisme birokratis ke level di atasnya hanya bersifat pelaporan. Ini pada dasarnya tidak hanya berlaku di dalam konteks dunia pendidikan, beberapa layanan umum yang termaktub di dalam Undang-undang ini adalah termasuk juga layanan kesehatan, lembaga pendidikan, pelayanan lisensi dan lain-lain. Dalam konteks pendidikan, BLU menjadi hal yang membuka praktek-praktek komersialisasi pendidikan mengingat bahwa lembaga pendidikan mempunyai hak untuk mengelola dana pendidikan termasuk operasionalnya sendiri dengan mekanisme sebatas pelaporan ke lembaga di atasnya.
Dapat kita lihat bahwa sesungguhnya beralihnya PTN menjadi BLU adalah upaya lepas tangan pemerintah terhadap pendidikan Indonesia. Dengan dalih besarnya beban subsidi kepada warga negaranya akhirnya negara melepaskan mekanisme pembiayaan pendidikan langsung ke arena pertarungan antar lembaga-lembaga pendidikan yang ada di Indonesia. Pada level yang lebih kecil, otonomi pendanaan yang sepenuhnya dikelola oleh kampus membuka peluang pemasangan tarif atas sekian jasa ataupun barang yang di hasilkan oleh lembaga-lembaga BLU. Logika yang terbangun tidak jauh berbeda dengan akad jual beli yang terjadi di pasar. Semua jasa dan barang yang diproduksi lembaga-lembaga tersebut dinilai dengan tarif yang ditetapkan oleh BLU. Sehingga mahasiswa sudah seperti pembeli dan pengguna yang harus siap dan sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut.
Pada prinsipnya, BLU ini kemudian menjadi kontradiktif dengan semangat pengajaran dan pendidikan yang selama ini dicita-citakan pendiri bangsa. Sekian bangunan mental dan karakter kebangsaan yang harusnya di gembleng melalui lembaga pendidikan ini justru berubah menjadi lembaga profit semata yang hanya berpatokan kepada seberapa besar uang yang mampu dibayarkan kepada pihak penyedia jasa pendidikan. Bila sekian perguruan tinggi yang sudah sewajarnya tidak mencari keuntungan atas proses pendidikan yang mereka lakukan kemudian sudah mulai membuka bisnis di dunia pendidikan, maka bila bisnis mereka itu gulung tikar bukankah mahasiswa yang menjadi objek setia dari praktek komersil yang mereka langsungkan dengan bersembunyi di balik dalih “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”?.
Menyangkut hal ini kemudian kita juga mempertanyakan tanggung jawab Negara yang tertuang dalam Pembukaan UUD yang mengatakan “untuk mencerdaskan kehidupan bangsa”, tenyata hal justru berlawanan dengan kenyataan yang hari ini dihadapi oleh rakyat Indonesia. Dianulirnya UU BHP bukan kemudian membuat komesialisasi pendidikan dan tanggung jawab Negara atas pendidikan sudah terlaksana sepenuhnya. Karena kita kembali harus mengingatkan bahwa dianulirnya UU BHP bukan berarti pelaksaan UU BHP tidak terjadi, karena BLU adalah bentuk lain dari pelaksanaan BHP yang harus kemudian harus kita tolak demi terwujudnya dunia pendidikan yang gratis, berkualitas dan bervisi kerakyataan.
Sikap Organisasi
Sebagai sebuah organisasi pergerakan pemuda, kita mencoba kembali menegaskan bahwa hadirnya FPPI dengan sikap politik ekstraparlementernya wajib dalam melakukan perjuangan melawan proses penindasan yang sampai saat ini telah semakin massif. Maka dari itu melihat bahwa semakin seksamanya proses liberalisasi yang hari ini terjadi dan semakin kuatnya cengkraman kapitalisme internasional melalui lembaga-lembaga internasionalnya (IMF, WB, ADB, TNC’s/MNC’s dan negara-negara maju), serta semakin tumbuh suburnya agen-agen neolib di negeri ini, FPPI memandang perlu bahwa perjuangan atas isu-isu kerakyataan haruslah didahulukan dan menjadi isu terpenting dalam mendorong peristiwa sosial menjadi peristiwa politik, serta menjadikan tema ekstraparlementer sebagai bagian dari fase pergerakan yang harus kita buat maju menjadi semangat atas perluasan pengorganisiran dan penguatan organisasi.
Sikap organisasi FPPI di tengah situasi seperti ini adalah terus mengangkat isu kerakyatan sebagai counter hegemoni yang dilakukan negara dengan sekian aparatusnya sehingga diskursus mengenai permasalahan sosial ini bisa menjadi perbincangan di elit politik Indonesia. problem penggusuran di beberapa kota di Indonesia, perampasan tanah petani, biaya pendidikan yang mahal dan yang paling dekat dengan kita adalah problem perburuhan yang harus menjadi fokus perbincangan dan perhatian kelompok-kelompok pergerakan yang mengkalim sedang memperjuangkan demokrasi dan nasib rakyat. Kita tidak sedang menjadi pemberang dan reaksioner dengan meliberalkan kerja politik organisasi, kita tidak ingin kembali menjadi korban dalam pusaran politik nasional yang lambat laun menggerus eksistensi organisasi dan memisahkan organisasi dengan garis ideologinya.
Mengabil kepeloporan berarti menjadi perekat organisasi-organisasi rakyat dalam melakukan perjuangan pemenuhan “Hak-Hak Dasar Rakyat” dalam kehidupan berbangsa dan benegara di Republik Indonesia Ini. Untuk itu FPPI menegaskan bahwa :
1. Menolak segala bentuk liberalisasi perdagangan yang telah disepakati oleh penguasa negeri ini baik itu CAFTA, AFTA dll.
2. Negara Republik Indonesia harus segera mengakhiri kerjasama internasionalnya baik yang bersifat multirateral dan bilateral yang selama ini merugikan Indonesia dan mendorong kerjasama internasional yang berdasarkan keadilan global.
3. Dan masih kuatnya dominasi modal asing di Indonesia adalah sebagai akibat praktek liberalisasi, deregulasi dan privatisasi (capital violence) yang telah diselenggarakan pemerintahan republik ini yang mana selalu didahului dengan lahirnya berbagai formulasi kebijakan negara yang inkonsitusional (judicial violence) dan peraturan perundang-undangan yang semakin liberal dan memiskinkan warga negaranya sendiri.
4. Karakter rezim saat ini adalah karakter rezim neolib yang akan selalu melanggengkan semua agenda neolib yang akan semakin menyebabkan rakyat negeri ini terjerumus pada jurang kemiskinan.
5. Menyerukan adanya persatuan antar gerakan semesta rakyat Indonesia untuk melawan segala bentuk pelanggaran terhadap hak ekonomi sosial budaya yang disebabkan oleh dominasi modal internasional.
Maka, sebagai sikap Kepeloporan Pergerakan Pemuda secara Nasional Menuju Persatuan Gerakan Rakyat Lawan Penjajahan Gaya Baru, Front Perjuangan Pemuda Indonesia bersama semesta rakyat Indonesia tetap menuntut :
1. Renegosiasi ulang atas semua kesepakatan internasional yang merugikan rakyat Indonesia.
2. Nasionalisasi asset yang dikuasai asing dan bangun Industri Nasional yang tangguh dan bebas dari intervensi asing.
3. Jaminan social bagi seluruh rakyat Indonesia
4. Tolak Resolusi Bipartit Nasional
5. Upah Layak Bagi Buruh
6. Hapuskan Sistem Kerja Kontrak dan Outsourching,
7. Cabut Semua Kebijakan Privatisasi & Cabut Peraturan Ketenagakerjaan Yang Menindas (UU Serikat Pekerja, UU Ketenagekerjaan, UU PPHI, RPP Pesangon dan RUU Jamsostek), serta cabut semua UU yang mengindikasikan Liberalisasi Modal Internasional (UUPM, UU Perkebunan, UU SDA, UU Kelistrikan, dll)
8. Sediakan Lapangan Kerja untuk Rakyat, serta
9. Turunkan Harga, Tolak penggusuran.
10. Legalisasi kedaulatan rakyat atas akses-akses sumber-sumber penghidupan dengan melakukan REFORMA AGRARIA yang konsisten.
Demikian edaran ini kami sampaikan, dengan harapan bahwa kawan-kawan dimasing-masing kota dapat kembali memperluas pembacaan sitnasnya masing-masing dan tetap menyambungkannya dengan perkembangan situasi eksternal di masing-masing kotanya.
MENDIDIK RAKYAT DENGAN PERGERAKAN,
MENDIDIK PENGUASA DENGAN PERLAWANAN.
MUNDUR DAN TINDAKAN INSDISPLINER MERUPAKAN PENGHIANATAN TERHADAP ORGANISASI
Jakarta, 23 April 2010
Ttd
Ketua Umum Nasional FPPI
Ferry Widodo
--
Rakyat Kuasa