Perempuan berambut ikal itu adalah makhluk yang eksotis. Mereka selalu membawaku ke alam mimpi. Entah kenapa akhir-akhir ini aku jarang menemukannya? Apakah mereka telah habis atau bersembunyi? Tiga bulan yang lalu aku masih dapat menemukan mereka, walau hanya dua orang.
Saat ini kepalaku rasanya sudah mau meledak. Bukan waktu yang pendek untuk sebuah penantian. Tak pernah terbersit sedikitpun dalam benakku kalau semuanya akan menjadi seperti sekarang ini. Enggan jadinya kehidupan saat ini!
Hari apa ya sekarang? Ah aku sudah tidak ingat. Yang teringat hanyalah perjumpaan terakhir yang benar-benar telah membuat semangatku meluap-luap. Dia memang seorang yang sangat bisa memahami diriku. Kulitnya yang halus, matanya yang syahdu, bibir mungilnya, ah tak terlupakan. Ingin rasanya berjumpa kembali. Tapi aku yakin suatu saat nanti pasti akan kutemukan kembali yang seperti itu.
Sejenak pikiranku masih terus menerawang tanpa batas ke dunia yang penuh fantasi, bayangan-bayangan itu datang silih berganti. Ada yang tinggi, ada yang pendek, ada yang kurus, maupun yang gemuk. Semuanya ikal. Tak teragukan lagi keindahannya. Kesadaranku kembali memulih dan kutatap gang yang gelap. Seberkas bayangan tampak menyita perhatianku. Ya, tak salah lagi, sesosok badan dengan ketinggian kira-kira 160 centimeter, rambutnya ikal terurai dan sedang berjalan menuju ke arahku. Semakin dekat dan jelas wajah mungil berkacamata itu. Langkahnya terlihat memburu waktu mencoba menghindari gang yang gelap ini secepat mungkin. Sebentar ia menengok ke belakang atau ke samping. Sungguh suasana yang menarik.
Kuikuti sosok itu dan semakin kegundahan menguasainya. Sesekali aku harus berhenti untuk menjaga jarak dengannya. Tikungan pertama terlewati, masih ada dua tikungan lagi yang menanti. Aku paling suka pada tikungan ketiga, suatu penghabisan dengan banyak rasa tanpa batas. Beberapa waktu yang lalu aku menyelesaikan semuanya di tikungan ketiga. Semuanya berakhir dengan sebuah fantasi yang bercampur aduk. Tak pernah terbayangkan mengakhiri impian di tikungan ketiga.
Sesaat sosok itu melambatkan langkahnya dan beberapa saat kemudian mempercepat dan lebih cepat lagi. Suara sepatu ber-hak tinggi itu seperti sedang berkejar-kejaran dan tak pernah saling bersamaan, sebuah irama yang mendebarkan jantung. Kadang melambat dan kadang cepat dan kadang pula cepat sekali. Irama-irama yang tak pernah terduga.
Rambut itu yang sesekali diterbangkan oleh angin malam telah menciptakan sebuah ilustrasi menakjubkan. Di bawah kilatan cahaya merkuri yang redup terlihat dia menghapus keringat di wajah. Keringat itu terlihat kian menambah keeksotisannya. Tanpa terasa pikiranku telah menghadirkan wujud Dewi Venus yang pernah kubaca dari sebuah buku tentang mitologi Yunani. Dewi yang selalu gelisah memikirkan posisi mana supaya bisa terlihat indah dan dipuja-puja mata. Hanya sekali dalam sewindu ia bisa menemukan posisi itu. Selalu mempesona bagi siapa saja yang memandangnya. Di hari biasapun dia terlihat mempesona, apalagi kalau dia sudah menemukan posisinya, semua perhatian akan tertimpa padanya. Di hari biasa orang lebih mengenalnya sebagai ‘bintang timur’ atau dalam astrologi Jawa dikenal dengan sebutan panjer rina. Suatu perwujudan seorang dewi kecantikan, keindahan, seks dan keseimbangan. Zodiak libra juga berada dalam naungan Dewi Venus ini. Sebagai pasangan dari Dewi Venus adalah Dewa Perang atau Planet Mars dalam sistem tata surya kita. Sepasang sejoli yang sangat romantis. Sebuah pancaran kesuburan alam.
Tak terasa tikungan kedua sudah tampak di depan mata, kurang lebih sepuluh meter lagi akan terlalui. Tikungan ini banyak sekali kardus-kardus bekas berserakan dan sesekali terlihat bekas drum minyak di sisi kanan kiri jalan yang digunakan untuk membuat perapian. Kabut tipis juga sesekali terlihat keluar dari lubang penutup gorong-gorong. Seperti biasa, pada waktu-waktu tertentu hanya terlihat beberapa orang saja yang tak peduli dengan sekitarnya. Mereka adalah orang-orang yang sudah dimatikan indranya oleh keadaan. Tak terpikir oleh mereka untuk mencampuri urusan orang lain. Yang penting bagi mereka adalah bagaimana bisa makan hari ini dan bisa menghindar dari operasi-operasi pembersihan petugas ketertiban yang akan membawa mereka ke penampungan sosial dan menjadikannya robot-robot. Pada gang ini lebih banyak lampu merkuri yang sengaja dimatikan oleh penghuni gang, biasanya mereka melempari lampu-lampu itu dengan batu. Sekali waktu pernah seseorang melemparkan potongan besi yang berbentuk huruf ‘S’ ke kabel dan akibatnya terjadi konsleting yang memadamkan lampu satu blok. Dalam kegelapan mereka akan merasa lebih tenang dan aman dari gangguan orang lain.
Langkah sosok perempuan berambut ikal itu sudah mulai membelok masuk menuju gang kedua, kegelisahan masih terlihat melalui gerakan-gerakan tubuhnya. Masih sesekali ia mengamati sekitar dan kadang pula menoleh ke belakang. Dan aku tetap menjaga jarak untuk tidak menimbulkan kecurigaan. Beberapa kali kulihat dia mengusap keringat di wajah dan beberapa kali pula kulihat sebuah keindahan terbalut kilauan keringat. Kecemasan itu yang membuatnya mengeluarkan banyak keringat yang mulai membasahi rambut. Gambaran sosok itu juga semakin eksotis dan menyita banyak perhatianku. Tak banyak orang memiliki pesona seperti itu.
Pada beberapa titik terlihat api unggun menyala dari dalam drum-drum itu dan tampak beberapa orang tidur mengelilinginya. Sosok perempuan berambut ikal itu tampak berhati-hati ketika melewati kerumunan orang tidur. Langkahnya sedikit diangkat berjingkat supaya suara berkejaran itu tidak terdengar terlalu keras. Kardus-kardus kosong tampak berada di bahu jalan dan di sudut yang terlihat lebih gelap terlihat kardus yang bergerak-gerak kadang beraturan dan kadang sangat tidak konstan. Dibawahnya terlihat dua pasang kaki yang saling berhimpitan. Sosok perempuan berambut ikal yang tadinya sedikit memperhatikan kemudian mengalihkan pandangannya. Seekor kucing hitam tampak duduk-duduk di dekat tumpukan kardus itu. Kegusaran telah membawa sepasang sepatu ber-hak tinggi itu untuk lebih cepat berkejar-kejaran dan berharap bisa secepatnya meninggalkan tempat itu.
Dua orang dari arah berlawanan tampak berjalan terhuyung-huyung dan di bahu mereka teronggok karung plastik besar yang isinya penuh dan berat. Sosok perempuan berambut ikal itu menghindar dengan menggunakan bahu jalan yang lain. Ujung jalan menuju tikungan ketiga belum juga tampak tetapi aku masih bersabar dan menikmati permainan ini. Seperti kucing dan tikus yang selalu kumainkan dengan teman-teman ketika masih berumur sembilan tahun. Sesekali jantungku berdegup keras melihat sosok perempuan berambut ikal itu menyibakkan rambut dan mengusap keringat yang tanpa disadari telah sampai pada ujung hidungnya. Langkah yang dipercepat itu seolah sudah tidak lagi memperdulikan suasana sekitar. Mataku kini benar-benar terantuk pada langkah-langkah itu, dari ujung ke ujung tak ingin aku melewatkannya.
Pada jarak dua puluh meteran terlihat lampu merkuri yang agak terang, itu menandakan tikungan ketiga sudah tampak. Dari ujung tikungan sampai dengan ujung gang berjarak kurang lebih seratus sepuluh meter. Aku biasa menikmati hari-hari pada sebuah ruang kosong dekat pada ujung gang. Ketika keluar dari gang itu kita akan menemukan suasana yang lain. Jarang ada orang yang berjalan kaki di sana. Semua naik kendaraan, entah itu pribadi maupun umum. Dari ujung gang menuju halte bis berjarak kurang lebih enam belas meteran. Di bahu jalan gang ini ada kurang lebih delapan belas tempat sampah yang setiap hari diganti oleh petugas-petugas kebersihan kota. Semua tempat sampah itu merupakan pembuangan limbah gedung-gedung mewah yang hanya terlihat dari jalan utama. Gang ini merupakan sisi lain dari kemewahan dan merupakan ampas-ampas penghuni gedung itu berkumpul. Tidak jarang ditemukan sesuatu yang mengerikan di sini. Sekali waktu memang juga ditemukan benda-benda berharga.
Sosok perempuan berambut ikal itu tampak sudah tidak sabar lagi mencapai ujung gang yang hiruk pikuk dengan lalu-lintasnya. Tikungan ketiga ini memang sangat istimewa karena dari ujung ke ujung kita dapat melihat sebuah garis lurus gelap dan terang, sepi dan ramai, busuk dan indah. Berbeda dengan tikungan pertama dan kedua yang jalannya agak serong dan berkelok dan masih berasa aura kehidupan. Pada pagi hari biasanya petugas kebersihan kota datang dan membersihkan onggokan limbah itu sambil mengumpat karena bau busuknya. Di depan ruang kosong yang sering kugunakan juga terdapat sebuah tempat sampah ber-cat kuning dan bertuliskan nama gedung yang kuhuni. Sebuah bangunan hotel berbintang lima yang sering dipakai para artis atau pejabat menginap ketika datang ke kota ini. Bangunan bekas gudang yang kuhuni telah menjadi saksi bagi impian-impianku selama ini. Ruang penuh fantasi yang kadang kala membawa aroma keringat bercampur parfum murahan sampai yang paling mahal.
Langkah sosok perempuan berambut ikal yang semakin cepat itu nampaknya mengetahui keberadaanku, tanpa sengaja dari jarak sepuluh meteran dia menoleh ke belakang dan kami saling beradu pandang. Untuk pertama kalinya aku berhasil melihat paras wajah mungil itu dengan jelas meski berada dalam keremangan cahaya merkuri. Di balik kacamata itu tersimpan sepasang mata yang tajam namun saat ini memancarkan cahaya ketakutan. Bentuk mukanya menggambarkan sosok berambut ikal itu seorang yang lembut dan penyabar, sangat berbeda dengan apa yang dia lakukan pada saat ini. Sosok yang benar-benar menyita banyak perhatianku malam ini. Memang sangat mirip dengan sosok yang kutemui beberapa bulan yang lalu. Hanya suaranya yang belum pernah kudengar dari tadi. Di beberapa bulan yang lalu, sosok yang kutemui mempunyai suara yang lembut dan sangat santun. Menghangatkan dinginnya tikungan ketiga.
Sayup-sayup terdengar alunan suara Symphoni #9 Beethoven, sosok perempuan itu merogoh tasnya dan mengambil sebuah ponsel yang lamat kulihat memiliki fitur moderen dan tentu harganya mahal. Akhirnya aku dapat mendengarkan suaranya, namun ternyata keliru, sosok perempuan berambut ikal itu tidak menjawab panggilan ponselnya. Dia hanya melihat sekilas dan menekan sebuah tombol kemudian memasukkan kembali ponsel itu ke dalam tas.
Kehadiranku ternyata telah membuat sosok perempuan berambut ikal itu semakin mempercepat langkahnya. Pemandangan semakin menarik dalam sebuah kepanikan yang hampir mencapai puncaknya. Keringat yang keluar dari tubuh perempuan berambut ikal itu semakin banyak dan rambutnya menjadi sedikit acak-acakan. Nafasnya terdengar memburu.
Aku semakin bersemangat mendekatinya, jarak kami kurang lebih hanya sekitar lima meteran. Bekas gudang itu kini sudah semakin dekat, hanya kira-kira dua puluh meter lagi. Tampak dia semakin panik dan berusaha melepas sepatu ber-hak tingginya. Sesekali dia menoleh ke belakang dan melihatku dengan wajah ketakutan, benar-benar pemandangan yang sangat langka untuk dijumpai. Wajah eksotis, tubuh eksotis dalam suasana yang mencekam dan penuh dengan kengerian! Perpaduan yang jarang terjadi. Nafas yang terdengar semakin tersengal-sengal dan keringat yang mengucur deras, menghidupkan suasana tikungan ketiga malam ini. Suatu keharmonisan yang tak pernah dimiliki sisi lain dari tikungan ketiga.
Lima meter sudah berlalu dan jarak dari bangunan bekas gudang menjadi semakin dekat. Jarak dengan sosok perempuan berambut ikal itu juga semakin dekat dan hanya terpaut sekitar tiga meteran. Seperti biasa, aku masih menjaga jarak dan terus menunggu. Mengetahui aku menjadi semakin dekat, sosok perempuan berambut ikal itu semakin panik dan membuang sepatunya kemudian berlari. Kadang sesekali terlihat dia nyaris jatuh tersungkur. Begitu menguasai keseimbangannya, kembali dia berlari menjauhiku. Sementara aku tetap menjaga jarak.
Lima meter lagi pintu di mana biasanya aku masuk sudah terlihat dan sedikit terbuka. Aku masih berusaha untuk lebih mendekatinya, demikian juga sebaliknya, dia terus berusaha menjauhiku. Jarak kami tinggal dua langkah lagi dan jarak dengan pintu bagunan tinggal dua meteran.
Malam ini begitu dingin dan bulan tampak utuh menghias langit, tubuhku memanas karena lemak-lemak didalamnya terbakar ketika berlari. Dengan sekuat tenaga aku berhasil menyusul sosok perempuan berambut ikal itu dan kurengkuh tangannya. Sisa tenaga yang kupunya kukerahkan untuk menyeret sosok perempuan berambut ikal itu masuk dalam bangunan bekas gudang. Sekuat tenaga perempuan itu meronta, “ Jangan! Kumohon jangan, hentikan!” Itulah untuk pertama kali kudengar suaranya. Lembut namun tegas.
Usaha yang sia-sia, aku berhasil menyeret masuk dan pintu bekas bangunan gudang segera kukunci dari dalam. Tak ada orang yang tahu dan mendengar kejadian ini. Hanya aku, dia dan tuhan yang tahu. Kembali bekas bangunan gudang ini menjadi saksi bisu bagian lain dari gemerlap kemewahan kota. Dan tak seorangpun mengetahuinya.
Inilah tikungan ketiga yang selalu berbeda dengan tikungan-tikungan yang lain.
+ BTIJOX MARCH 13:05, 05:13 +